Rabu, 12 Desember 2018

Gloomy Sunday

Aku melihat bayangan - mu mengelilingi kamar yang sudah kau tinggalkan dua bulan yang lalu. Bercak darah yang terhampar hampir di setiap dinding rumah menandakan bahwa kau masih melindungi ku.

Setiap darah yang tumpah pada Minggu malam adalah kebahagian-mu,
Tak ku sangka bahwa kau masih hidup di sekitarku,
Memandikan cahaya bulan dengan angkuhnya malam.

Kau adalah penakluk Bumi ini,
Sisa - sisa tulang manusia di bawah kaki gunung tersebut menandakan kasih sayangmu kepadaku,
Dan aku berjanji, akan terus mengingatmu selama aku bernapas. 

The Rainy Days

"Aku senang menatap hujan, tapi tidak suka bila disentuhnya"
Lagi – lagi aku harus berusaha keras menghadapi musim hujan kali ini, untuk menghindari omelan ibu yang suka memarahiku bila ketahuan pulang dengan pakaian yang basah kuyup atau menghindari omelan ayah, jika badanku mulai demam akibat terkena air hujan. Aku benar benar repot, urusanku banyak sekali padahal umurku masih enam belas tahun. 

Oh wahai masa mudaku yang terabaikan...
Seharusnya diumurku yang sekarang, aku lebih banyak menghabiskan waktu di kafe atau mungkin menonton film layar lebar bersama teman teman sebayaku. Tapi pada kenyataannya, aku selalu disibukkan oleh tugas – tugas sekolah, menjadi kunci jawaban berjalan untuk para kaum "zombie" di kelas ku. 

Aku benar – benar tak punya waktu bermain, semuanya terreggut di tempat les. Mungkin, jika aku punya sedikit sifat membangkang, aku akan lebih memilih membolos pelajaran demi menghabiskan waktu di kantin, berkumpul bersama teman teman, bergosip atau berpacaran. Tapi pada kenyataannya aku tidak begitu, tidak bisa dan tidak mau. 

"Fel, nanti mau ikut nonton engga? Katanya film itu nakutin banget, mumpung hari Senin nih, Murah, besok juga libur panjang tuh, ayo kapan lagi" aku tersenyum menanggapi ajakan Nina, untuk kesekian kalinya aku menolak, walaupun gadis bermata kecoklatan itu berkata tak apa apa, mungkin isi kepalanya sedang menilaiku sekarang. 

Aku merapihkan buku – buku yang berserakan di atas meja, memasukkannya asal ke dalam tas ranselku, sebiasa mungkin aku berjalan keluar tanpa menatap Nina yang mungkin sedang memperhatikan gerak - gerik ku. 

"Hujan?" Ku rentangkan tangan kananku ke depan sambil berharap – harap cemas, ku rasakan buliran air itu menyentuh kulitku. Perlahan, kekhawatiran mulai menghantui pikiranku, bagaimana jika hujannya berangsur lama?

Semilir angin merasuk tulangku, beberapa kali kilat memperlihatkan cahayanya. Aku terdiam membisu di bibir halaman sekolah, menampakkan ketakutan yang entah berasal dari mana.
"Eh eh, lu mau nyebrang?" aku menoleh ketika bahuku terasa ditusuk tusuk. Kulihat seorang anak laki – laki berdiri tegap tepat dibelakangku, memegang pulpen biru yang kuyakini ia gunakan untuk membuatku menoleh. 

"Iya". Mendengar itu, ia segera membuka tasnya, laki – laki dihadapanku sekarang benar - benar tinggi, aku hanya sebahunya, rambutnya pendek, namun terlihat sekali bergelombang, hidungnya mancung dan kulitnya kecoklatan. Manis. 

"Nih gua ada payung, tapi bayar gua dua ribu" aku mengerutkan dahiku, ia terus menyodorkan payung kecil berwarna putih itu dengan tatapan kasihan.
"Nanti dianterin sampe naik angkot?" tanyaku.

"Oh lu naik angkot? Tanyanya dengan raut wajah terkejut. Setelah bernegosiasi, aku pun meyetujuinya, membiarkan ia mengantarku, Lumayan, hanya dua ribu rupiah.

Kami berjalan berdampingan menggunakan payung kecil itu, bisa ditebak payung itu hanya untuk satu orang, namun kami memaksakan diri, lebih tepatnya aku yang memaksa, karena tak ingin basah kuyup ketika sampai di tempat les. Aku merasakan sedikit air hujan menyentuh rok abu – abu ku, mungkin karna aku tidak pernah berjalan bersama laki laki selain ayahku, jantung ini mulai berdebar ketika tubuh ku tak sengaja merapatkan diri dengannya, hingga menyentuh kulit tangannya yang dingin, ku lirik bibirnya yang pucat, baru tersadar ia tak menggunakan jaket, hanya bermodalkan seragam sekolah dan payung ini, jantungku semakin tak karuan ketika ia menoleh ke arahku.

"Eh ke warung dulu" Katanya sambil menarik pelan lenganku, boleh kah aku simpulkan bahwa laki – laki ini takut aku tidak membayarnya?

Ia memilih milih bungkus Basreng yang digantung bersama barisan cemilan lainnya, tanpa basa basi ku keluarkan uang dua ribu ku, dengan polosnya ia sempat bertanya apakah uang untuk naik kendaraan masih ada, aku hanya menahan tawa melihat ekspresinya berubah saat aku bilang tidak.
Kami melanjutkan perjalanan lagi, aku melihat matanya berbinar - binar menatap empat bungkus Basreng yang sampai sekarang belum pernah ku coba itu. Kata ibu, jangan jajan sembarangan. Maka dari itu aku tidak pernah mencoba makanan makanan yang tidak pernah di anjurkan ibu, bukan karna aku meremehkan makananya, namun karna aku memiliki alergi pada beberapa makanan, aku diwajibkan untuk berhati – hati. 

"Suka banget ya? Emang enak?" 

Ia mengangguk sambil tersenyum.
 
"Makasih ya" 

Aku diam. Mungkin ia tidak suka diajak berbicara dengan orang asing. 

"Sebulan yang lalu, gua baru selesai operasi usus buntu, sempet ga boleh makan Basreng, sekarang baru boleh lagi. Menurut gua, basreng makanan paling penting setelah nasi, jadi... makasih banyak untuk Basreng-nya" 

Aku tertawa mendengarnya, melihat ia menyeringai jauh terlihat lebih lucu. Kami menunggu dipinggir jalan, tak peduli hujan yang semakin deras, sampai akhirnya angkutan umum itu datang. Aku duduk di pinggir pintu tepat belakang supir, ia segera menutup payungnya dan memberikannya paksa kepadaku. 

"Dadah" katanya berlari pergi sebelum aku sempat mengucapkan kata kata.

***

Semenjak kejadian itu, aku tak pernah melihatnya lagi. Terakhir, ketika mobil melaju, aku masih melihatnya berlari menghindari hujan. Ku ingat ingat lagi tangannya yang dingin. Bukankah ia baru saja pulih? Aku penasaran siapa namanya, apakah dia seusiaku? Aku tidak tahu.
Pernah suatu ketika jantungku terasa sesak mengetahui orang – orang sibuk membicarakan rumor tentang kakak kelas yang telah berpulang akibat suatu penyakit berbahaya. apa itu dia? Aku tidak tahu. 

Hari demi hari ku lalui, hingga akhirnya aku berhasil melepas seragam putih abu – abu ini, menjadi seorang gadis dewasa yang bijaksana, dan payung putih ini masih menjadi payung favoritku, sering ku pandang payung ini yang selalu mengingatkan ku lagi pada laki – laki itu, iya benar, padamu.
Setiap hujan datang, rasa takut ini sering muncul, aku suka menunggu kamu di depan sekolah, berharap kamu akan menawarkan payung lagi, sekalipun aku membawa payungmu di tasku, menunggumu sampai hujan berhenti, sesekali mampir ke warung tempatmu membeli Basreng. Aku sampai mencobanya, dan benar saja, Ibu marah ketika badanku gatal gatal sehabis memakan makanan favoritmu itu. 

Namaku Felia, Siapa namamu? Bisakah kita bertemu lagi? Aku belum sempat mengucapkan terima kasih. Terima kasih untuk mengantarku, terima kasih untuk payungnya, terima kasih untuk menjadi cinta pertamaku. 

Benar kata orang, bahwa cinta pertama itu sulit dilupakan ya, padahal aku hanya melihatmu satu kali.
"Drrt,...drrt" Ponselku bergetar menyadarkan lamunanku, Ibu menyuruhku untuk cepat pulang dalam pesannya. Aku menyimpan ponselku kembali kedalam tas dengan hati – hati, takut teh hangatku tumpah. 

Aku menutup payung putihmu, kali ini aku duduk bersama barisan orang orang penunggu bis di halte dekat kampusku, menikmati hujan memandikan cahaya senja, sambil meresap teh hangat yang manis seperti senyummu, menghirupnya sesekali untuk menghangatkan tubuhku, diam diam mencoba mengembalikan kenangan kecil itu lagi kepermukaan. Pada dasarnya sudah ku coba untuk menutup kenangan itu. Tapi, hujan selalu menguatkan ingatan ku tentangmu.
 
"Aku senang menatap hujan, tapi tidak suka bila disentuhnya"
"Eh... eh" 

Ku rasakan seseorang menyentuh bahuku, menggoyahkan seluruh persepsi tentang hujan dan tawaran manis sepucuk puisi ketika ku tatap lagi wajah itu, rambut bergelombang yang mulai panjang, mata yang berbinar binar mengelabuhkan ku itu kini telah datang lagi. 

"Apa kabar?" 

TAMAT

I FALL APART


Mawar itu terikat dalam sanubari seorang pria – tak bermoral,
Jiwanya tenggelam dalam lautan nikmat birahi; santun katanya,
Melucuti setiap harum – peluh bunga dibawah sinar rembulan,
.
Jemari yang tidak pernah ia lupakan,
Meresap, memancar keseluruh relung jiwanya,
Di antara manis nya darah yang ia kubur,
Hanya satu yang tertinggal; luka.

Peluk – aku mengingat tubuhmu yang memeluk diriku erat dengan embel – embel cinta yang sering kamu ucap. Harum tubuhmu, bibirmu yang tipis, rambut panjang yang selalu kamu ikat, leher jenjang yang selalu kamu pamerkan, bahkan deru nafasmu ketika kita menyatu – aku mengingatnya.
Aku tidak benar – benar mengerti apa yang dimaksud “Kebahagiaan” bagimu, karna menurutku “Bahagia” adalah kata yang pantas untuk mendeskripsikan keberadaanmu disampingku, walaupun sepertinya kamu tidak beranggapan begitu.

Kamu masih ingat ibuku? Belakangan hari ini ia jatuh sakit dan berkata bahwa ia sangat merindukan dirimu – ya, aku pun juga rindu.

Ia berkata bahwa sup buatanmu sangat enak dan kamu memiliki sifat yang lembut. Aku sangat beruntung memilikimu – katanya. 

Kamu membawakan sweater rajut berwarna putih untuk hadiah ulang tahun ibuku. Kamu menangis dan berkata bahwa kamu bahagia bisa mengenal ibuku – dan ibuku menangis karna ia beranggapan telah memiliki dirimu.

“Jadi kapan kalian menikah?” 
Teringat jelas wajahmu merah padam dan tenggorokan –ku terasa sangat kering karna gugup. Percayalah, aku sudah membayangkan hari tersebut akan datang. Hari pernikahan kita.

Taman yang selalu kita kunjungi terlihat lebih ramai dari biasanya. Lebih banyak bunga yang tumbuh dibanding yang mati. Lebih banyak kasih sayang yang terlihat dari sini. Anak - anak yang bermain sepak bola, berlarian – tertawa. Tidak ada atmosfer kesedihan, semua begitu normal.
“Aku lebih suka bunga mawar merah dari pada mawar putih.” Kamu menarik kerah kemejaku kala itu, kemudian menciumku pelan – sangat pelan.
“Karna mawar merah mengajarkan kehidupan. Seindah apapun hidupmu kamu pasti akan menemukan duri.” 

Miris – karna aku hanya tertawa mendengarnya.
Bahkan setelah kamu menggeliat dengan lelaki lain diranjangku – aku tak apa apa. Kamu bertingkah seperti kamulah yang mengajariku tentang dunia ini, menafkahi hidupku dengan nasihat busuk-mu dan menganggap semua itu adalah bukti kasih sayang.
Aku berantakan.

Setiap hari yang ku lalui begitu pahit tanpa keberadaanmu. Mimpi buruk selalu datang berkali – kali setiap namamu disebut. Aku rasa hubungan ini telah berakhir tetapi kenapa dirimu masih meninggalkan jejak? 

“Hubungan ini adalah kesalahan.” 

Kamu membela laki – laki yang menidurimu, kemudian berkata bahwa hubungan kitalah yang salah. Dan hal yang lebih bodoh adalah ketika aku hanya bisa terdiam – kamu menang.
Aku berantakan.

Ketika tanpa sengaja kamu kembali dengan senyuman yang selalu ku rindukan, melambaikan tangan seperti tidak terjadi hal apapun – Kamu menyapaku.
“Semoga kita bisa menjadi teman baik.” Kamu memeluk diriku dengan gestur yang tidak biasa, namun aku merasa hidup. Bahkan setelah tiga tahun lamanya. Aku masih tidak bisa melupakan-mu.
“Jaga dirimu baik – baik.” 

Aku tersenyum, hal yang tidak pernah ku lakukan setelah berpisah denganmu dan aku sadar satu hal; bahwa aku sebenarnya telah hancur sejak bertemu denganmu.