"Aku senang menatap hujan, tapi tidak suka bila disentuhnya"
Lagi – lagi aku harus
berusaha keras menghadapi musim hujan kali ini, untuk menghindari omelan
ibu yang suka memarahiku bila ketahuan pulang dengan pakaian yang basah
kuyup atau menghindari omelan ayah, jika badanku mulai demam akibat
terkena air hujan. Aku benar benar repot, urusanku banyak sekali padahal
umurku masih enam belas tahun.
Oh wahai masa mudaku yang terabaikan...
Seharusnya diumurku yang
sekarang, aku lebih banyak menghabiskan waktu di kafe atau mungkin
menonton film layar lebar bersama teman teman sebayaku. Tapi pada
kenyataannya, aku selalu disibukkan oleh tugas – tugas sekolah, menjadi
kunci jawaban berjalan untuk para kaum "zombie" di kelas ku.
Aku benar – benar tak
punya waktu bermain, semuanya terreggut di tempat les. Mungkin, jika aku
punya sedikit sifat membangkang, aku akan lebih memilih membolos
pelajaran demi menghabiskan waktu di kantin, berkumpul bersama teman
teman, bergosip atau berpacaran. Tapi pada kenyataannya aku tidak
begitu, tidak bisa dan tidak mau.
"Fel, nanti mau ikut
nonton engga? Katanya film itu nakutin banget, mumpung hari Senin nih,
Murah, besok juga libur panjang tuh, ayo kapan lagi" aku tersenyum
menanggapi ajakan Nina, untuk kesekian kalinya aku menolak, walaupun
gadis bermata kecoklatan itu berkata tak apa apa, mungkin isi kepalanya
sedang menilaiku sekarang.
Aku merapihkan buku –
buku yang berserakan di atas meja, memasukkannya asal ke dalam tas
ranselku, sebiasa mungkin aku berjalan keluar tanpa menatap Nina yang
mungkin sedang memperhatikan gerak - gerik ku.
"Hujan?" Ku rentangkan
tangan kananku ke depan sambil berharap – harap cemas, ku rasakan
buliran air itu menyentuh kulitku. Perlahan, kekhawatiran mulai
menghantui pikiranku, bagaimana jika hujannya berangsur lama?
Semilir angin merasuk
tulangku, beberapa kali kilat memperlihatkan cahayanya. Aku terdiam
membisu di bibir halaman sekolah, menampakkan ketakutan yang entah
berasal dari mana.
"Eh eh, lu mau
nyebrang?" aku menoleh ketika bahuku terasa ditusuk tusuk. Kulihat
seorang anak laki – laki berdiri tegap tepat dibelakangku, memegang
pulpen biru yang kuyakini ia gunakan untuk membuatku menoleh.
"Iya". Mendengar itu, ia
segera membuka tasnya, laki – laki dihadapanku sekarang benar - benar
tinggi, aku hanya sebahunya, rambutnya pendek, namun terlihat sekali
bergelombang, hidungnya mancung dan kulitnya kecoklatan. Manis.
"Nih gua ada payung,
tapi bayar gua dua ribu" aku mengerutkan dahiku, ia terus menyodorkan
payung kecil berwarna putih itu dengan tatapan kasihan.
"Nanti dianterin sampe naik angkot?" tanyaku.
"Oh lu naik angkot?
Tanyanya dengan raut wajah terkejut. Setelah bernegosiasi, aku pun
meyetujuinya, membiarkan ia mengantarku, Lumayan, hanya dua ribu rupiah.
Kami berjalan
berdampingan menggunakan payung kecil itu, bisa ditebak payung itu hanya
untuk satu orang, namun kami memaksakan diri, lebih tepatnya aku yang
memaksa, karena tak ingin basah kuyup ketika sampai di tempat les. Aku
merasakan sedikit air hujan menyentuh rok abu – abu ku, mungkin karna
aku tidak pernah berjalan bersama laki laki selain ayahku, jantung ini
mulai berdebar ketika tubuh ku tak sengaja merapatkan diri dengannya,
hingga menyentuh kulit tangannya yang dingin, ku lirik bibirnya yang
pucat, baru tersadar ia tak menggunakan jaket, hanya bermodalkan seragam
sekolah dan payung ini, jantungku semakin tak karuan ketika ia menoleh
ke arahku.
"Eh ke warung dulu"
Katanya sambil menarik pelan lenganku, boleh kah aku simpulkan bahwa
laki – laki ini takut aku tidak membayarnya?
Ia memilih milih bungkus Basreng
yang digantung bersama barisan cemilan lainnya, tanpa basa basi ku
keluarkan uang dua ribu ku, dengan polosnya ia sempat bertanya apakah
uang untuk naik kendaraan masih ada, aku hanya menahan tawa melihat
ekspresinya berubah saat aku bilang tidak.
Kami melanjutkan perjalanan lagi, aku melihat matanya berbinar - binar menatap empat bungkus Basreng
yang sampai sekarang belum pernah ku coba itu. Kata ibu, jangan jajan
sembarangan. Maka dari itu aku tidak pernah mencoba makanan makanan yang
tidak pernah di anjurkan ibu, bukan karna aku meremehkan makananya,
namun karna aku memiliki alergi pada beberapa makanan, aku diwajibkan
untuk berhati – hati.
"Suka banget ya? Emang enak?"
Ia mengangguk sambil tersenyum.
"Makasih ya"
Aku diam. Mungkin ia tidak suka diajak berbicara dengan orang asing.
"Sebulan yang lalu, gua baru selesai operasi usus buntu, sempet ga boleh makan Basreng, sekarang baru boleh lagi. Menurut gua, basreng makanan paling penting setelah nasi, jadi... makasih banyak untuk Basreng-nya"
Aku tertawa
mendengarnya, melihat ia menyeringai jauh terlihat lebih lucu. Kami
menunggu dipinggir jalan, tak peduli hujan yang semakin deras, sampai
akhirnya angkutan umum itu datang. Aku duduk di pinggir pintu tepat
belakang supir, ia segera menutup payungnya dan memberikannya paksa
kepadaku.
"Dadah" katanya berlari pergi sebelum aku sempat mengucapkan kata kata.
***
Semenjak kejadian itu,
aku tak pernah melihatnya lagi. Terakhir, ketika mobil melaju, aku masih
melihatnya berlari menghindari hujan. Ku ingat ingat lagi tangannya
yang dingin. Bukankah ia baru saja pulih? Aku penasaran siapa namanya,
apakah dia seusiaku? Aku tidak tahu.
Pernah suatu ketika
jantungku terasa sesak mengetahui orang – orang sibuk membicarakan rumor
tentang kakak kelas yang telah berpulang akibat suatu penyakit
berbahaya. apa itu dia? Aku tidak tahu.
Hari demi hari ku lalui,
hingga akhirnya aku berhasil melepas seragam putih abu – abu ini,
menjadi seorang gadis dewasa yang bijaksana, dan payung putih ini masih
menjadi payung favoritku, sering ku pandang payung ini yang selalu
mengingatkan ku lagi pada laki – laki itu, iya benar, padamu.
Setiap hujan datang,
rasa takut ini sering muncul, aku suka menunggu kamu di depan sekolah,
berharap kamu akan menawarkan payung lagi, sekalipun aku membawa
payungmu di tasku, menunggumu sampai hujan berhenti, sesekali mampir ke
warung tempatmu membeli Basreng. Aku sampai mencobanya, dan benar saja, Ibu marah ketika badanku gatal gatal sehabis memakan makanan favoritmu itu.
Namaku Felia, Siapa
namamu? Bisakah kita bertemu lagi? Aku belum sempat mengucapkan terima
kasih. Terima kasih untuk mengantarku, terima kasih untuk payungnya,
terima kasih untuk menjadi cinta pertamaku.
Benar kata orang, bahwa cinta pertama itu sulit dilupakan ya, padahal aku hanya melihatmu satu kali.
"Drrt,...drrt"
Ponselku bergetar menyadarkan lamunanku, Ibu menyuruhku untuk cepat
pulang dalam pesannya. Aku menyimpan ponselku kembali kedalam tas dengan
hati – hati, takut teh hangatku tumpah.
Aku menutup payung
putihmu, kali ini aku duduk bersama barisan orang orang penunggu bis di
halte dekat kampusku, menikmati hujan memandikan cahaya senja, sambil
meresap teh hangat yang manis seperti senyummu, menghirupnya sesekali
untuk menghangatkan tubuhku, diam diam mencoba mengembalikan kenangan
kecil itu lagi kepermukaan. Pada dasarnya sudah ku coba untuk menutup
kenangan itu. Tapi, hujan selalu menguatkan ingatan ku tentangmu.
"Aku senang menatap hujan, tapi tidak suka bila disentuhnya"
"Eh... eh"
Ku rasakan seseorang
menyentuh bahuku, menggoyahkan seluruh persepsi tentang hujan dan
tawaran manis sepucuk puisi ketika ku tatap lagi wajah itu, rambut
bergelombang yang mulai panjang, mata yang berbinar binar mengelabuhkan
ku itu kini telah datang lagi.
"Apa kabar?"
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar